Skor Matematika pada PISA Rendah, Orang Tua Perlu Kenalkan Matematika pada Anak Sejak Dini!

Baru-baru ini, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 telah diumumkan pada 5 Desember 2023. Dilansir dari laman Media Indonesia (2023), dalam hasil PISA yang terbaru ini, Indonesia menempati peringkat ke-68 dengan skor; matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Lebih lanjut, hasil skor PISA 2022 ini menunjukkan penurunan  (learning loss) mencapai 12-13 poin dibandingkan dengan hasil skor PISA pada 2018. Bahkan lebih buruknya lagi, hasil PISA 2022 ini dapat dikategorikan termasuk yang terendah dan setara dengan hasil yang diperoleh pada 2003 dalam membaca dan matematika serta pada 2006 dalam sains.

Dari hasil PISA 2022 di atas, lantas apa yang sebenarnya menjadi kekhawatiran kita bersama? Tentu saja, yang patut membuat Indonesia cemas adalah ternyata hanya 18% siswa yang memperoleh kemahiran matematika minimal level 2. Kemampuan matematika pada level 2 ini berarti bahwa siswa hanya dapat menafsirkan dan mengenali bagaimana situasi sederhana dapat direpresentasikan secara matematis dan tanpa instruksi langsung. Hal tersebut, misalnya, dapat kita lihat pada contoh soal membandingkan total jarak pada dua rute alternatif atau pada soal yang mengkonversi harga ke dalam mata uang yang berbeda.

Lebih mirisnya lagi, di Indonesia, hampir tidak ada remaja berusia 15 tahun yang berprestasi baik dalam bidang matematika, yaitu memperoleh kemahiran level 5 atau 6. Perlu untuk diketahui bahwa pada kemahiran level 5 dan 6 ini, siswa biasanya sudah mampu memodelkan situasi yang kompleks secara matematis dan memilih, membandingkan, serta mengevaluasi strategi pemecahan masalah yang tepat untuk menghadapinya. Setidaknya hanya terdapat enam negara di benua Asia yang mampu memperoleh kemahiran level 5 dan 6, meliputi Singapura (41%), Taiwan (32%), Macau (29%), Hong Kong (27%), Jepang (23%), dan Korea (23%). Selain hasil PISA tahun 2022, Laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2015 juga menunjukkan bahwa 27% anak Indonesia di jenjang kelas 4 tidak memiliki pengetahuan matematika dasar yang memadai (The Conversation, 2021).

Bahkan penelitian terbaru yang menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000-2014 juga mengungkapkan terdapat tiga tren yang sangat mengkhawatirkan terkait capaian belajar anak Indonesia (The Conversation, 2021). Pertama, analisis terhadap data IFLS 2014 menunjukkan masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Misalnya, hal ini terlihat ketika hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan pengurangan “49-23” secara tepat. Padahal, soal matematika ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1. Kedua, data menunjukkan kemampuan anak tidak mengalami peningkatan kemampuan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA).

Ketiga, ketika membandingkan data IFLS tahun 2014 dengan tahun 2000, ditemukan bahwa kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama, 14 tahun kemudian. Bahkan rata-rata kemampuan anak di kelas 7 pada tahun 2014 mencapai penguasaan berhitung yang sama dengan rata-rata kemampuan anak di kelas 4 pada tahun 2000. Artinya, dalam konteks ini, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan (The Conversation, 2021). Hasil temuan SMERU Research Institute ini hendaknya menjadi lampu kuning bagi segenap pemangku kepentingan di sektor pendidikan. Selain itu, entah sampai kapanpun, hasil temuan ini kedepannya akan terus memerlukan perhatian khusus sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. 

Lalu pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua untuk membantu mengatasi hal tersebut? Bagaimana cara menumbuhkan rasa cinta anak terhadap pelajaran matematika? Hal ini tentu saja akan menjadi persoalan yang cukup menantang. Sebab ketika mendengar kata “matematika” saja, setiap orang terkadang langsung mengaitkannya dengan rentetan angka, rumus, atau bahkan “trauma” karena sulitnya mendapatkan nilai bagus untuk pelajaran yang satu ini. Oleh karena itu, orang tua perlu memperkenalkan matematika pada anak dengan cara yang menyenangkan, misalnya dengan bermain.  Sebab pada masa golden age, yaitu usia 0-6 tahun, cara orang tua mendidik anak akan sangat memengaruhi perilaku dan pilihan anak di masa mendatang. Jika orangtua memperkenalkan matematika untuk anak dengan cara yang rumit dan membosankan, tentu anak tidak akan tertarik.

Memperkenalkan matematika untuk anak bisa dilakukan dengan menggunakan benda tiga dimensi, seperti balok dan puzzle knob.  Dalam hal ini, orang tua bisa mengenalkan ragam bentuk dan konsep ruang dan bangun (spatial reasoning), seperti pengukuran dan perkiraan saat memasang atau menyusun balok. Selain itu, saat anak menginjak usia dua tahun ke atas, orang tua bisa meminta anak untuk mulai menyusun balok hingga membuat satu bentuk dimensi baru yang biasanya mereka imajinasikan sebagai bentuk kereta, rumah, dan lainnya. Selain cara di atas, mengasah kemampuan matematika anak lewat lagu juga cukup efektif untuk dilakukan. Lagu yang ceria dapat meningkatkan antusiasme dan semangat anak. Orang tua bisa mengenalkan angka 1-10 dengan lagu, seperti “Lagu Anak 1 2 3 4”, “Ten Little Indians”, atau “Lima Anak Bebek (Five Little Ducks). Sewaktu bernyanyi, orang tua bisa menggunakan jari tangan untuk merepresentasikan angka beserta gerakan.

Selain cara-cara menyenangkan di atas, orang tua juga bisa memasukkan anak ke Bimbingan Belajar Anak Hebat Indonesia. Bimbel AHE Indonesia sendiri memiliki program berhitung, yang dikenal dengan nama Ala Sekolah (ASE). Program ASE turut hadir bukan dengan membawa metode baru, tetapi menggunakan metode yang sudah ada di sekolah. ASE membantu para murid untuk menguasai kemampuan dasar berhitung dengan menggunakan “6 Langkah Ala Sekolah”, yaitu tangga angka, mencongak, drilling, susun ke samping, susun ke bawah, dan permainan. Dengan menggunakan cara yang sama dengan sekolah, murid tidak akan bingung. Apalagi ditambah materi yang sistematis, proses bertahap, pengulangan yang menantang dan permainan asyik membuat ASE semakin disenangi oleh murid, orang tua, dan guru sekolah.

Referensi:

Alam, S. (2023, December 18). Hasil PISA 2022, Refleksi Mutu Pendidikan Nasional 2023. Media Indonesia. Retrieved from https://mediaindonesia.com/opini/638003/hasil-pisa-2022-refleksi-mutu-pendidikan-nasional-2023.

Bima, L. (2021, August 17). Naik kelas tapi tak belajar: Penelitian ungkap 3 capaian buruk terkait pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000. The Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408.

Redaksi Pojok Indonesia Mengajar. (2022, February 11). Mengenai Pendidikan, Kita Tidak Sedang dalam Perlombaan. Indonesia Mengajar. Retrieved from https://indonesiamengajar.org/pojok-refleksi/mengenai-pendidikan-kita-tidak-sedang-dalam-perlombaan.